Advertisement
Hukum Memperingati Maulid Nabi. Beberapa hari lagi kita akan memasuki tanggal 12 Rabi'ul awal 1434 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 24 Januari 2013. Sebagian besar umat Islam di Indonesia memperingati Maulid Nabi yang dikatakan sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Sementara sebagian lainnya mempertanyakan dasar hukum atau dalil tentang peringatan Maulid Nabi tersebut dan menganggap pelaksanaan kegiatan tersebut mengada-ada tanpa ada perintah baik Al Qur'an maupun sunnah Nabi.
Pro kontra peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW semoga menjadi rahmat atas perbedaan dan bukan menjadi perpecahan di kalangan umat Islam, namun tidak ada salahnya kita mengetahui sedikit hal ihwal mengenai hari kelahiran Nabi tersebut dari sudut pandang berbagai sumber.
Pada tanggal 12 Rabi'ul awal tahun gajah yang bertepatan dengan tanggal 2 Agustus 579 Masehi telah lahir seorang bayi dari rahim Siti Aminah binti Wahab dan dari seorang ayah Abdullah bin Abdul Muthalib yang kemudian diberi nama Muhammad.
Kaum Syiah berbeda pendapat, mereka mempercayai bahwa Nabi Muhammad SAW dilahirkan
pada hari Jum’at tanggal 17 Rabi’ul awal, sedangkan beberapa ahli hadis
berpendapat lain lagi yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW lahir pada tanggal 9 Rabi’ul awal.
Perbedaan pendapat mengenai tanggal kelahiran Nabi ini adalah ijitihad dari para ulama salaf dan khalaf. Rasulullah SAW sendiri tidak pernah menyebutkan secara pasti tanggal berapa beliau lahir, Nabi SAW hanya menyebutkan hari kelahiran beliau.
Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, “Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (HR Muslim)
Perlu diketahui bawha perayaan
atau peringatan maulid Nabi Muhammad SAW adalah masalah furu’iyyah atau cabang
dan bukan masalah pokok dalam agama Islam, kita sering menyaksikan perbedaan-perbedaan furu’iyyah ini terjadi di kalangan
umat Islam.
Oleh karena itu hendaknya permasalahan furu’iyyah tidak menjadikan perpecahan di kalangan umat Islam, tidak saling menyalahkan dan merasa paling benar apalagi sampai mencaci dan membenci ulama yang memiliki pendapat berbeda dalam masalah furu’iyyah ini.
Apapun pendapat para ulama yang berbeda tersebut masing-masing mempunyai penafsiran hukum sendiri yang harus kita hormati selama masih berpegang pada Al Qur'an dan Hadits.
Ada dua pendapat tentang perayaan Maulid :
Pendapat pertama menyatakan bahwa perayaan Maulid hukumnya bid’ah atau sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Nabi SAW.
Para ulama yang
menyatakan bid’ah antara lain : Syekh Sholeh ibn ‘Utsaimin, Syeikh Albani, Ibn
baz serta ulama salafiy atau yang biasa di sebut wahabi lainnya. Mereka menyatakan bahwa tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut pernah di lakukan oleh
Rasulullah, atau di anjurkan langsung. Hal ini pun tidak pernah di
lakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
Adapun dalil mereka adalah Sabda Rasulullah SAW :
‘alaikum bisunnati,
wa sunnatil khulafaurrasyidiina mimba’di
Artinya : Berpeganglah kalian kepada
sunnah-sunnahku dan sunnah-sunnah khulafa Ar-rasyidin
Dalil-dalil lainnya tentang bid'ahnya peringatan maulid adalah :
- Hadits Nabi SAW : “Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya adalah di neraka”
- Hadits Nabi SAW : “Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru di
dalam urusan kami (dalam hal ini agama) apa yang tidak darinya, maka
amalan tersebut tertolak”
- Qiyas : Perayaan maulid seperti perayaan kelahiran Nabi Isa setiap tanggal 25 Desember yang selalu di rayakan oleh umat kristiani
- Perayaan maulid tidak pernah di lakukan oleh Rasulullah SAW maupun para Sahabatnya.
Pendapat ulama yang menyatakan bahwa perayaan Maulid hukumnya adalah boleh namun dengan persyaratan tertentu.
Diantara ulama salaf dan khalaf yang membolehkan adalah : ibn Hajar
Al’asqalani, imam Jalaluddin As-Suyuthi, Dr. Yusuf Qardhawi dan beberapa
ulama kontemporer lainnya.
Adapun dalil yang membolehkan peringatan Maulid adalah :
Katakanlah (Muhammad), sebab keutamaan dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah kalian. (QS Yunus, 58)
Ayat ini mengarahkan kita untuk bergembira (tapi tidak yang berlebihan)
- Qiyas : cerita tentang pembebasan budak tsuwaibah oleh Abu Lahab
karena memberi kabar tentang kelahiran Rasulullah SAW. Pada suatu ketika
Abbas bin Abdul Muthalib bermimpi tentang Abu Lahab, lalu beliau
bertanya tentang kondisinya? Lalu Abu Lahab menjawab : Aku tidak menemui
kebaikan sedikit pun, kecuali tatkala aku memerdekakan hambaku
Tsuwaibah. Hal inilah yang meringankanku dari siksaan setiap hari Senin
(diriwayatkan oleh Imam bukhari dan ibn hajar al’asqalani)
Kalau seorang
yang kafir saja diringankan siksaannya karena bergembira di hari
kelahiran Rasulullah SAW, apalagi kaum muslimin.
- Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al-Anbiya : 107)
Sebagian Perkataan Para ulama tentang perayaan maulid :
A. Sekitar lima abad yang lalu Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849 H –
911 H) menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi SAW boleh dilakukan.
Sebagaimana dituturkan dalam Al-Hawi lil Fatawi :
“Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi SAW pada bulan
Rabiul Awwal, bagaimana hukumnya menurut syara’. Apakah terpuji ataukah
tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak?
Beliau menjawab: Menurut saya bahwa asal perayaan Maulid Nabi SAW,
yaitu manusia berkumpul, membaca Al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi
SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. Kemudian
menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang.
Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah
al-hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan
derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran
Nabi Muhammad SAW yang mulia”. (Al-Hawi lil Fatawi, juz I, hal 251-252)
B. Ibn Taimiyyah (Guru ibn Qayyim Aljauzi) berkata :
“Orang-orang
yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAW akan diberi pahala. Begitulah
yang dilakukan oleh sebagian orang. Hal mana juga di temukan di
kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS. Dalam Islam juga
dilakukan oleh kaum muslimin sebagai rasa cinta dan penghormatan kepada
Nabi SAW. Dan Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan
mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan”.
(Manhaj as-Salaf li Fahmin Nushush Bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 399)
DR. Yusuf Qardhawi adalah salah satu ulama yang membolehkan perayaan maulid akan tetapi beliau tidak membenarkan
jika perayaan tersebut diisi dengan hura-hura, berunsurkan syirik,
iktilath (campur) antara lelaki dan perempuan, mubazir makanan dan
harta, berkurban untuk alam, berdesak-desakan sehingga menyebabkan
bentrok, dan hal-hal lainnya yang bertentangan dengan syariat. Namun
jika, peringatan maulid itu dalam rangka mengingat kembali sejarah
kehidupan Rasulullah SAW, mengingat kepribadian beliau yang agung,
mengingat misinya yang universal dan abadi, misi yang Allah swt tegaskan
sebagai rahmatan lil’alamin.
Ketika acara maulid seperti demikian, alasan apa masih disebut dengan
bid’ah? Pernyataan beliau yang dimuat dalam media online pribadi beliau
itu juga ditambahkan:
“Ketika kita berbicara tentang peristiwa maulid
ini, kita sedang mengingatkan umat akan nikmat pemberian yang sangat
besar, nikmat keberlangsungan risalah, nikmat kelanjutan kenabian. Dan
berbicara atau membicarakan nikmat sangatlah dianjurkan oleh syariat dan
sangat dibutuhkan.
Untuk mereka yang membid’ahkan dan mengharamkan maulid harus
mengetahui ada di Negara mana mereka berada? Jika berada di Indonesia
(contohnya) yang mayoritas penduduknya merayakan maulid lalu tiba-tiba
mereka membid’ah-bid’ahkan orang-orang yang merayakan maulid dengan
dalih berda’wah , apa yang akan terjadi? Umat pun akan lari dari
dakwahnya akan tetapi jika mereka meng-ishlah dari dalam dengan cara
membenarkan cara perayaan maulid yang tidak bertentangan dengan syariat,
bukankah lebih baik?
Sebaliknya jika mereka berada di Saudi Arabia atau Negara-negara yang
mayoritas penduduknya tidak merayakan dan pemerintahnya pun melarang,
ya sebaiknya jangan di lakukan. Ini yang di namakan fahmu maydan
Adda’wah (atau memahami lapangan da’wahnya) Sesungguhnya da’wah itu hangat dan memberi kehangatan kepada orang-orang yg terpanggil untuk selalu berada di jalanNya.
Salah satu ulama mekkah Syaikh Muhammad bin ‘alawi Al-maliki di kitab (Mafahim yajibu an tusahhah 224-226) beliau
berkata :
“Sesungguhnya perkumpulan (Maulid) ini merupakan sarana yang
baik untuk berdakwah. Sekaligus merupakan kesempatan emas yang
seharusnya tidak boleh punah. Bahkan menjadi kewajiban para da’i dan
ulama untuk mengingatkan umat kepada akhlaq, sopan santun, keadaan
sehari-hari, sejarah, tata cara bergaul dan ibadah Nabi Muhammad SAW.
Dan hendaknya mereka menasehati dan memberikan petunjuk untuk selalu
melakukan kebaikan dan keberuntungan. Dan memperingatkan umat akan
datangnya bala’ (ujian), bid’ah, kejahatan dan berbagai fitnah”.
Yang harus dan perlu di ingat pula perayaan maulid ini adalah salah
satu sarana pengingat kita agar terus menghidupkan sunnah-sunnahnya dan
menjauhi apa yang di larang Allah dan rasulNya, menghadiri perayaan
maulidpun bukan tolak ukur kecintaan kita kepada Rasulullah SAW akan
tetapi sepulang dari acara tsb kita bisa selalu mengingat dan
mengamalkan apa-apa yang sudah kita dapati di Seminar/Perayaan Maulid
tadi, dan membuat Rasulullah SAW bangga kepada kita.
Kecintaan kita kepada Rasulullah SAW adalah wajib,
akan tetapi tidak cukup hanya kecintaan semata, lebih dari itu beliau
harus lebih anda cintai melebihi segala sesuatu termasuk diri kita
sendiri.
Barang siapa yang mencintai sesuatu maka ia akan
mengutamakannya dan berusaha menirunya.
“Keta’atan dan Ittiba’ (sikap mengikuti) adalah buah dari Mahabbah (rasa cinta) dan tanpa keduanya cinta tidaklah benar”.
Demikian info mengenai Hukum Memperingati Maulid Nabi semoga bermanfaat.
Sumber : Idrus Salim Al Jufri