Infonews.web.id

*TNI-Polri dan Warga Saksikan Satpol PP Tidore Kepulauan Keluarkan Eva dari Kedai*




Tidore Kepulauan– Saat masyarakat Tidore Kepulauan fokus pada pelantikan Wali Kota baru di Jakarta pukul 10.00 WIB, sebuah kejadian memilukan terjadi di wilayah tersebut. Eva Paputungan, pemilik kedai di Tidore Kepulauan, dikeluarkan oleh Satpol PP dari tempat usahanya. Sejumlah barang dagangan dikeluarkan, sementara TNI, Polri, dan warga sekitar menyaksikan peristiwa tersebut pada Kamis, (20/2/2024). 

Penggusuran Tanpa Penjelasan, Eva Menangis

Menurut saksi mata, Satpol PP menggiring Eva Paputungan keluar dari kedainya tanpa penjelasan yang jelas. Sementara itu, barang-barang dari dalam kedai dikeluarkan, dan sebagian bangunan mengalami pembongkaran.

Eva tampak berlinang air mata dan merasa bingung atas tindakan tersebut. “Saya tidak tahu alasan sebenarnya. Jika ada permasalahan hukum, seharusnya ada pemberitahuan resmi, bukan tiba-tiba dikeluarkan seperti ini,” ungkapnya dengan suara bergetar.

TNI-Polri dan Warga Menyaksikan

Dalam proses penggusuran ini, TNI dan Polri turut hadir, namun tidak melakukan intervensi. Warga sekitar yang menyaksikan kejadian ini juga bertanya-tanya tentang dasar hukum penggusuran tersebut. Beberapa warga mengungkapkan keheranan mereka, mengingat tidak ada pengumuman atau peringatan sebelumnya mengenai tindakan ini.

Dugaan Keterkaitan dengan Politik



"Sejumlah pihak menduga bahwa tindakan ini berkaitan dengan kepentingan politik tertentu. 
peristiwa ini perlu diselidiki lebih lanjut."kata Udin Yaser. 

“Jika benar ada faktor politik yang berperan, maka ini adalah bentuk ketidakadilan bagi masyarakat kecil. Pemerintah harus transparan dalam menjelaskan alasan penggusuran ini,” tegas Udin Yaser.

Aspek Hukum: Apakah Penggusuran Ini Sah?

Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, setiap tindakan penggusuran harus memenuhi ketentuan berikut:

1. Pasal 28H ayat (4) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kepemilikan pribadi dan hak tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.”


2. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang melindungi hak kepemilikan dan melarang perampasan properti tanpa prosedur hukum yang sah.


3. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang mengharuskan setiap penggusuran dilakukan dengan prosedur hukum yang jelas dan adanya kompensasi bagi pemilik jika memiliki hak atas tanah tersebut.


4. Peraturan Menteri ATR/BPN No. 11 Tahun 2021, yang mengatur bahwa penggusuran harus dilakukan dengan pemberitahuan sebelumnya, sosialisasi, serta ganti rugi bagi pihak yang terdampak.

Jika penggusuran ini dilakukan tanpa pemberitahuan resmi dan tanpa mengikuti prosedur yang berlaku, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.



Warga Menuntut Transparansi

Masyarakat Tidore Kepulauan kini menuntut kejelasan dan transparansi dari pemerintah daerah serta instansi terkait. Mereka meminta penjelasan terbuka agar tidak menimbulkan keresahan lebih lanjut.

Selain itu, lembaga hukum dan organisasi masyarakat sipil diharapkan segera turun tangan untuk menyelidiki kasus ini guna memastikan apakah ada penyalahgunaan wewenang atau kepentingan politik di balik penggusuran ini.

Kejadian ini menjadi refleksi bagaimana kebijakan pemerintah dapat berdampak langsung terhadap masyarakat kecil. Jika memang ada unsur politik atau prosedur yang tidak sesuai dalam penggusuran ini, maka hal tersebut harus segera diusut demi tegaknya hukum dan keadilan.

Investigasi lebih lanjut sangat diperlukan untuk mengungkap pihak yang bertanggung jawab, alasan sebenarnya di balik penggusuran ini, serta penyelesaian yang adil bagi Eva Paputungan dan warga terdampak lainnya.

(tim/red).


Iklan Disini

Type and hit Enter to search

Close